13 Maret 2008

SENI MENYENTUH HATI

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl [16]:125)
* * *
Meskipun usia Hasan dan Husen masih remaja, tapi dalam berpikir, bersikap, dan bertindak mereka berdua sangat dewasa. Suatu ketika, mereka berdua berwudlu bersama seorang kakek di sebuah masjid. Mereka berdua melihat sang kakek, salah dalam berwudlu.

Kedua cucu Nabi Muhammad saw itu, dengan berbisik mendiskusikan bagaimana cara membetulkan kesalahan sang kakek. Maka Husen mempersilahkan kakaknya untuk jadi jubir, juru bicara. Hasan pun berkata: "Kek, bisa minta tolong gak? Gini, aku dan adikku ini berselesih tentang cara berwudlu. Menurutku sih, aku yang benar. Sebaliknya, menurut adikku, dia yang benar!"

"Ooo gitu, coba kakek liat cara kalian berdua wudlu!" ujar sang kakek.

Maka Hasan berwudlu sebaik mungkin, ia kerjakan semua tata cara wudlu, baik yang fardhu maupun sunnah dengan tertib. Lalu disusul oleh adiknya. Husen pun berwudlu seperti yang dilakukan kakaknya. Memang, sebenarnya tidak ada kesalahan cara berwudlu pada kedua putra Khalifah Ali bin Thalib itu. Tapi mereka berdua ingin memperlihatkan cara berwudlu yang benar sebagaimana diajarkan oleh kakek mereka, Nabi Muhammad Saw. Selesai mendemonstrasikan cara berwudlu itu, sang kakek tersenyum. Ia sadar apa yang sebenarnya yang diinginkan oleh kedua bocah itu. Sang kakek pun berkata: "Allah telah mengirim kalian berdua untuk menegurku. Sungguh, tak ada yang salah pada wudhu kalian. Yang salah adalah cara saya berwudlu. Terima kasih ya nak, atas teguran kalian!"

Selesai membaca kisah itu --saya baca dalam kitab "Fan At-Tarbiyah Al-Awlad fi Al-Islam" juz 2 karya Muhammad Sa'id Mursi-- aku teringat dengan kisah ketika aku mengajak adik dan kakakku untuk sama-sama merasakan manisnya ajaran Islam. Bapakku memang seorang khatib dan penghulu, tapi itu menjadikan aku lebih banyak memahami Islam dibandingkan dengan teman-teman sebayaku. Seperti kebanyakan temanku, aku ber-Islam karena keturunan saja, bukan sebuah proses pencarian dan pilihan hidup. Dan al-hamdulillah, ketika aku kelas dua SLTP, hidayah-Nya datang, sehingga terjadi epifani dalam hidupku. Titik balik itu (telah aku ceritakan dalam tulisan saya berjudul "Bertanyalah kepada Allah", klik: http://udoyamin.multiply.com/journal/item/46) membuatku bagaimana seharusnya cara ber-Islam yang benar. Dan al-hamdulillah, aku merasakan betapa indahnya Islam.

Nah, aku pun ingin mengajak kedua kakakku untuk merasakan apa yang aku rasakan. Namun sebagai seorang adik, aku merasa sungkan untuk menasehati secara langsung alias terang-terangan. Pernah aku coba, hasilnya malah jauh dari yang aku inginkan. Kontraproduktif, ajakanku bukan diterima, malahan mereka menceramahiku. Padahal aku hanya mengingatkan bahwa menutup aurat atau memakai jilbab itu wajib, bukan sikap yang berlebihan dalam Islam, apalagi sok suci di tengah masyarakat. Wajar jika mereka berpandangan demikian, sebab ketika --tahun 1990-an-- akhwat berjilbab masih sangat sedikit dan masih dipandang aneh oleh masyarakat. Di kampungku, yang makai jilbab ketika itu, bisa aku hitung dengan jari sebelah tangan. Ya, tidak lebih dari lima orang! Itu pun, mereka dicaci, dihina, dan dikucilkan di masyarakat.

Roda dunia pun berjalan. Aku bersama adik dan kakakku merantau ke pulau Jawa. Aku melanjutkan sekolah di sebuah pesantren di kota Garut, sedangkan kedua kakakku (semuanya perempuan) bekerja di pabrik di daerah Bogor. Aku tetap berpikir keras, bagaimana caranya supaya kedua kakakku mau memakai jilbab? Aku coba memberikan hadiah tulisanku tentang jilbab. Lalu aku kasihkan brosur dan buku-buku tentang jilbab. Namun hidayah belum juga hadir.

Hingga di tahun kelima, muncul ide untuk mengajak kakakku yang nomor dua untuk mengikutiku silaturahmi ke rumah temanku. Temanku itu seorang akhwat jilbaber satu kabupaten denganku, sama-sama dari Lampung Barat. Setiap liburan pesantren, temanku itu memintaku untuk mengisi pengajian para akhwat asal Lampung Barat yang bekerja di Bogor. Nah, sebelum aku mengajak kakak saya ikut, aku telah mengutarakan kepada temanku agar pengajian kali ini temanya tentang kewajiban hijab bagi seorang muslimah. Aku katakan bahwa penjelasanku nanti bukan untuk para belasan bahkan puluhan jilbaber yang hadir, tapi aku tujukan untuk kakakku. Dan aku minta, dalam tanya jawab juga, harus berkaitan dengan diri kakakku. Tentu saja kakakku tidak tahu rencanaku ini. Bahkan ketika aku ajak ikut, bukan untuk pengajian, tapi aku candai, ingin ketemu sama adik iparnya. Sebab, kalau aku kasih tahu, pasti kakakku tidak mau ikut.

Betapa terkejutnya kakakku, ternyata kontrakan yang kami tuju, penuh dengan para akhwat berjilbab lebar. Untuk balik pulang, mungkin tidak mungkin, kepalang tanggung. Maka dengan terpaksa ikut masuk dan duduk bersama para akhwat yang hadir. Tibalah aku ceramah tentang jilbab. Aku uraikan dalil dari Al-Quran dan hadis. Aku kemukakan keutamaan yang makai jilbab sekaligus ancaman bagi orang tidak memakai jilbab. Semua penjelasanku, aku tujukan untuk kakakku. Begitu juga ketika aku menjawab pertanyaan dari teman-temanku yang telah aku "setting" sebelumnya. Aku lihat, kakakku diam seribu bahasa. Hingga kami pulang pun, di atas angkot, ia tetap membisu. Begitu juga di kontrakannya.

Aku pun kembali ke pesantren. Tak berapa lama, aku dengar kakakku berniat memakai jilbab. Allahu akbar! Aku sujud sambil berderai air mata. Ternyata kakakku mendapatkan hidayah-Nya. Singkatnya, kakakku makai jilbab. Tentu saja, itu bukan sekedar membalut tubuh dengan pakaian tertutup, tapi sebuah titik balik seperti yang aku rasakan, yaitu keinginan untuk menjalankan Islam secara kaffah. Aku pun membantu merubah paradigma, perasaan, dan perbuatan kakakku, agar semuanya berpijak dengan ajaran Islam. Bagiku, bukan sekedar bahagia karena kakakku berjilbab, tapi kehadiran kakakku sebuah tenaga baru untuk mendukung dakwah di keluarga kami. Sebab, aku memegang prinsip: "Ku anfusakum wa ahlikum Nara" (Jagalah dirimu dan keluargamu dari Neraka). Ya, sebelum aku dakwah ke mana-mana, aku ingin membereskan keluargaku dulu.

Hijrahnya kakakku itu, diikuti oleh kedua adik laki-lakiku, sehingga yang tertua mengikuti jejakku, mau sekolah di pesantren, sedangkan yang bungsu mau sekolah Madrasah Tsanawiyah --sekarang sudah Aliyah. (Sementara itu, dua kakak dan adik perempuanku, semuanya tidak mau sekolah agama, tapi ingin sekolah di umum) Lalu, adik perempuanku, ketika tamat SLTA ikut merantau ke Bogor dan tinggal bersama kakakku yang telah berjilbab, ia pun ikut berjilbab. Tinggal kakakku tertua yang belum makai jilbab. Aku maklum, sebab ia sudah menikah. Pengaruh suaminya kurang memahami kewajiban tentang jilbab, begitu kuat. Maka sampai tiga tahun aku di Mesir, kakakku masih belum memakai jilbab. Namun selama itu pula, setiapkali ada yang pulang ke Indonesia, aku kirimi kakak dan kakak iparku surat. Dalam surat itu, aku lebih banyak menjelaskan betapa penting anak sholeh dan sholehah. Aku tidak mengatakan bahwa mereka harus sholeh dan sholehah, tapi secara tersirat makna suratku kalau ingin punya
anak sholeh dan sholehah, maka jadilah ortu sholeh/sholehah dulu. Dan al-hamdulillah, aku dapat khabar dari kakak kedua dan adik laki-lakiku bahwa kakak tertuaku telah menunaikan kewajiban menutup aurat.

Dua kisah itu merupakan setetes hikmah di samudera medan dakwah bahwa dalam menyeru manusia kita butuh seni. Sebab, terkadang orang tidak mau menerima kebenaran, bukan mereka tidak suka kepada al-haq, tapi cara kita dalam menyampaikannya. Ya, sekali cara kita! Aku masih ingat, beberapa hari lagi aku mau menikah. Atas nama dakwah, seorang akhwat menelpon calon isteriku setiap hari hampir sepuluh kali. Dalam telpon itu, ia mengatakan tidak boleh aku dan calon isteriku nanti bersanding di pelamin meskipun telah aqad nikah. Anehnya, orang itu tidak mau nelpon saya, tapi "menteror" calon isteriku tanpa ada dalil syar'i yang jelas dan kuat. Ia tidak sadar, bahwa yang ia lakukan, bukan hanya tidak bijak (al-hikmah), tapi ia menjadi pihak ketiga (biaanya pihak ketiga berperan sebagai syetan) yang ingin memecah-belah hubunganku dengan calon isteriku. Sehingga seharusnya kami berdua berbunga-bunga menanti mitsaqun ghalidha, malahan jadi berdebat karena persoalan yang dihembuskan oleh
orang yang "terlalu" semangat, namun ilmu kurang. Akhwat itu merasa dirinya paling benar, tanpa mau mendengarkan alasan orang lain. Maka aku tidak mau berdebat dengan ABG (Akhwat Baru Ghirah) itu. Sebab akan habis energi. Aku langsung menemui tokoh dari komunitas itu dan menceritakan permasalahan yang aku hadapi. AKu kemukakan alasanku, baik secara syar'i maupun alasan teknis. Al-hamdulillah, sang senior maklum dan sangat menyanyangkan sikap ABG tersebut.

Tentu saja banyak kisah yang aku alami dan aku saksikan seperti itu. Apalagi dengan teman-temanku. Tapi, tidak perlu saya ceritakan di sini. Sebab aku hanya ingin mengatakan bahwa semangat saja tanpa ilmu, tidak cukup untuk berdakwah. Bahkan ilmu saja tanpa akhlak, juga tidak indah. Intinya apa? Itu tadi, perlu ada seni dakwah. Dakwah bukan sekedar mengajak untuk melepaskan kewajiban dakwah. Tapi dakwah bagaimana caranya orang menerima hidayah-Nya. Dan hidayah adalah urusan hati. Maka urusan hati butuh keterampilan atau seni menyentuh hati. Dan seni menyentuh hati ini, akan muncul bila kita memiliki kesabaran. Ya kesabaran! Sabar bermakna menahan diri. Sabar berarti tidak tergesa-gesa melakukan sesuatu sebelum waktunya, sebaliknya tidak menunda-nunda sesuatu yang seharusnya kita lakukan. Sabar dalam arti tidak terlalu semangat tanpa dibarengi ilmu. Juga bermakna melakukan sesuatu dengan cara yang tepat, waktu yang tepat, dan objek yang tepat. Ah, intinya kudu tepat; sesuai dengan kadar yang dibutuhkan.

Berbicara seni dakwah atau seni menyentuh hati dan sabar, kita tidak bisa melupakan Ulul 'Azmi. Siapakah mereka? Mereka adalah Nabi Nuh As, Nabi Ibrahim As, Nabi Musa, Nabi Isa As, dan Nabi Muhammad Saw. Dari merekalah kita harus berguru bagaimana berdakwah dan bersabar. Lihat Nabi Nuh As, 950 tahun mendakwahi kaumnya siang malam penuh dengan kesabaran. Perhatikan Nabi Ibrahim As, siang malam mencari Tuhan, dan setelah "menemukannya", ternyata Tuhannya didustakan oleh manusia. Belum lagi kesabaran beliau menerima ujian untuk berpisah dengan isteri dan perintah menyembelih anaknya. Saksikan perjuangan Nabi Musa As, beliau tidak gentar menghadapi trio-pembangkang, yaitu Fir'aun sang penguasa, Qarun si konglomerat, dan Haman tokoh teknokrat. Renungkan perjuangan Nabi Isa As yang lahir tanpa ayah dan dikejar-kejar orang Yahudi. Dan cobalah teliti sirah nabi Muhammad Saw., di sana kita menemukan keindahan dakwah dan kesabaran beliau. Nah, sudahkah kita mecontoh mereka dalam
menyentuh hati manusia? Wallahu a'lam bish shawab.
* * *
"Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari.(Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik". (QS. Al-Ahqaf [46]:35)
Oleh: Udo Yamin Efendi Majdi
Penulis QURANIC QUOTIENT: Menggali &Melejitkan Potensi Diri Melalui Al-Quran(Qultum Media, 2007)

Tidak ada komentar: