13 Maret 2008

Tuli Mengancam Kaum Muda

Menurut penelitian, ketulian menyerang orang makin dini. Penyebabnya
adalah gaya hidup modern, seperti mendengarkan musik melalui earphone.

Entakan irama musik menemani perjalanan Linda—sebut saja begitu
namanya—selama penerbangan dari Bangkok menuju Jakarta . Sejak pesawat
lepas landas hingga mendarat di Bandar Udara Soekarno-Hatta, sekitar tiga
setengah jam, earphone yang tersambung pada alat pemutar musik mini terus
menempel di telinga gadis 18 tahun ini.

Semula Linda merasa asyik dan nikmat bisa mendengarkan musik kesayangannya
tanpa peduli orang sekitar. Namun, ketika kupingnya tak lagi disumpal, dia
terkejut. Ternyata kupingnya terus berdengung dan gerebek-gerebek.
Berkali-kali Linda menelan ludah, berharap dengungan dan rasa "penuh" di
telinga segera pergi, tapi gagal. Kupingnya malah makin budek. Hiruk-pikuk
kesibukan bandara cuma terdengar sayup-sayup.

Untunglah, perlahan-lahan dengungan itu memudar. Tapi Linda merasa
pendengarannya tak setajam sebelumnya. Kondisi ini memaksanya mendatangi
klinik telinga, hidung, dan tenggorokan (THT). "Dia mengalami ketulian
sampai 110 desibel," kata Ratna D. Restuti, dokter spesialis THT dari Rumah
Sakit Proklamasi, Jakarta Pusat, yang menangani gadis itu.

Angka 110 menunjukkan ukuran intensitas pendengaran atau audiogram. Untuk
orang dengan pendengaran normal, audiogramnya terletak antara nol dan 20
desibel. Di atas angka itu, artinya kondisi telinga sudah tidak beres.

Kebiasaan mendengarkan musik dengan alat yang langsung disumpalkan ke
telinga (earphone)—yang menjadi tren di kalangan anak muda masa
kini—membuat prihatin Ratna. Apalagi lingkungan sekarang tak bebas dari
kepungan suara bising: rumah dengan suara berbagai peralatan elektronik,
jalan raya yang penuh kendaraan bermotor, tempat-tempat hiburan dengan
musik keras, dan pabrik yang penuh geraman mesin.

Menurut hasil penelitian Jenny Bashiruddin, yang juga ahli THT, efek bising
ini memang luar biasa.. "Tak ada yang menyadari, misalnya, pusat permainan
anak-anak di mal juga sumber bising berbahaya, karena tingkat kebisingannya
mencapai 90-95 desibel," kata Jenny, yang melakukan penelitian efek bising
di berbagai tempat selama 2007.

Dengan tingkat suara setinggi itu, anak-anak seharusnya hanya boleh tinggal
satu-dua jam. Jika lebih lama dari itu, akan terjadi kelelahan koklea
(rumah siput), yang berperan penting dalam proses pendengaran. Kelelahan
koklea yang terjadi terus-menerus dan tak segera ditangani dapat
menyebabkan gangguan pendengaran menetap. Menurut Jenny, makin sering dan
lama diserbu kebisingan, makin cepat berkurang masa seseorang mampu
mendengar secara normal. Alhasil, tuli pun makin dini menyerang orang.

Ini rupanya menjadi kecenderungan global. Di Amerika Serikat, melalui
penelitian lebih komprehensif, telah disimpulkan bahwa pendengaran sekitar
5,2 juta anak berusia 6-19 tahun terganggu gara-gara terlalu sering
terpapar musik keras akibat pemakaian Walkman dan iPod, kebiasaan menikmati
televisi ukuran jumbo dengan suara menggelegar, atau pergi ke klub joget
dengan musik tekno ajib-ajib.

Para ahli kesehatan di sana memperkirakan anak-anak iPod generation ini
bakal lebih awal mengalami presbiakusis (tuli karena usia lanjut), yakni
pada usia 40-an tahun. Padahal, secara normal, pengurangan kualitas
pendengaran baru terjadi saat menginjak usia 60-70 tahun. Kondisi Indonesia
pun tidak jauh berbeda. Apalagi makin banyak saja orang wira-wiri dengan
kabel bersumpal "tertancap" di telinga.

Bila tidak percaya kedahsyatan dampaknya, lihat saja nasib Linda. Menurut
Ratna, gadis muda itu didiagnosis mengalami tuli akibat bising karena telah
mendengarkan musik dengan perangkat yang langsung menempel di telinga
secara terus-menerus lebih dari tiga jam. Alat seperti ini semakin
berakibat buruk karena si pemakai cenderung menggeber volume keras-keras
agar telinga mereka tidak terganggu suara berisik di sekitarnya. "Seperti
jika digunakan di kendaraan, termasuk pesawat dan kereta api," kata Ratna.

Untunglah Linda segera mendapat pertolongan. Dengan terapi
hiperbalik—memberinya obat-obatan khusus—tingkat ketuliannya berkurang,
tapi tak sembuh. "Tuli akibat bising memang cuma bisa dikurangi, tidak bisa
pulih seratus persen jadi normal kembali," ujar Ratna. Sebab, yang rusak
adalah sel rambut pada organ telinga bagian dalam yang berfungsi menangkap
rangsangan atau frekuensi suara. Bila bagian ini sudah terganggu dan rusak,
tak akan bisa kembali normal.

Menurut Damayanti Soetjipto, ahli THT dari Rumah Sakit MMC, Jakarta
Selatan, paparan bising merupakan salah satu penyebab ketulian di
Indonesia, yang kasusnya mencapai 0,4 persen dari total jumlah penduduk.
Penyebab lainnya adalah congek, serumen (kotoran telinga), obat-obatan,
usia lanjut, tuli sejak lahir, dan tuli mendadak. "Sebenarnya sebagian bisa
dicegah, tapi kesadaran masyarakat soal ini masih rendah," katanya.

Untuk mendongkrak kesadaran masyarakat itu, Komisi Nasional Penanggulangan
Gangguan Pendengaran dan Ketulian dibentuk dan diresmikan Sabtu dua pekan
lalu di Jakarta . Damayanti, yang menjabat sebagai ketua, menerangkan
komisi nasional ini dibentuk atas rekomendasi lembaga regional yang
dibentuk Badan Kesehatan Dunia (WHO), Sound Hearing 2030. Tujuan utamanya
mengurangi kasus gangguan pendengaran dan ketulian hingga 50 persen pada
2015, dan 90 persen dalam 15 tahun berikutnya.

Masalahnya, kebisingan belum dianggap sebagai ancaman serius. Bising malah
dianggap keren. Beberapa aktivitas kehidupan modern identik dengan
kebisingan. Konser-konser musik digelar dengan sound system makin canggih.
Tengok juga sejumlah kafe dan diskotek serta berbagai tempat nongkrong anak
muda yang bertebaran di penjuru kota . Juga jalan raya yang makin semrawut
dan bising. Itu semua masih ditambah dengan hobi mendengarkan musik dengan
earphone. Sepertinya, makin bising makin keren. Tapi, jika sudah tuli,
pasti tidak lagi keren.

Suara Mengalir Sampai Jauh
1. Saat suara masuk, tulang-tulang pendengaran bergetar.
2. Suara lalu diteruskan ke koklea (rumah siput), yang terletak di
bagian tengah telinga.
3. Pada koklea terdapat sel-sel rambut yang berfungsi menangkap
rangsangan atau frekuensi suara.
4. Sel rambut juga berfungsi mengubah energi akustik menjadi
rangsang listrik untuk dapat diteruskan ke pusat persepsi pendengaran di
otak.
Suara berfrekuensi lebih dari 80 desibel dapat membuat sel-sel rambut
mengalami kelelahan.
Sel-sel rambut yang sering lelah lama-kelamaan rusak.
Kerusakan pada sel rambut menyebabkan terganggunya proses mendengar.
Akibatnya, terjadi penurunan fungsi pendengaran.
Pada awalnya, penurunan fungsi pendengaran hanya bersifat sementara,
tapi bila paparan bising berlangsung terus, kerusakan akan permanen.


Batas Intensitas Lama Pemaparan
Kebisingan

Ruangan tenang: 30-40 desibel 80 dB 16*

Percakapan normal: 65 desibel 85 dB 8*

Pengisap debu, televisi: 60-70 90 dB 4*
desibel

Walkman/iPod: 96 desibel 95 dB 2*

Arena bermain anak di mal: 90-95 100 dB 1*
desibel

Diskotek atau klub malam: 100-120 105 dB 1/2*
desibel

Orkes simfoni: 110 desibel 110 dB 1/4*

Konser musik: rock 110-140 desibel 115 dB 1/8*

*Lama pemaparan tiap hari (jam)

Tidak ada komentar: