13 Maret 2008

Andaikata Aku Bisa Memberi Lebih Banyak Lagi...

Seperti yang telah biasa dilakukan ketika salah satu sahabatnya
meninggal dunia, maka Rasulullah SAW mengantar jenazahnya sampai ke
kuburan. Dan pada saat pulangnya disempatkannya singgah untuk
menghibur dan menenangkan keluarga almarhum supaya tetap bersabar dan
tawakal menerima musibah itu.
Kemudian Rasulullah SAW bertanya, "Tidakkah almarhum mengucapkan
wasiat sebelum wafatnya?". Istrinya almarhum menjawab, "Saya mendengar
dia mengatakan sesuatu diantara dengkur nafasnya yang tersengal-sengal
menjelang ajal". "Apa yang dikatakannya?". "Saya tidak tahu, ya
Rasulullah SAW, apakah ucapannya itu sekedar rintihan sebelum mati,
ataukah rintihan pedih karena dasyatnya sakaratul maut. Cuma,
ucapannya memang sulit dipahami lantaran merupakan kalimat yang
terpotong-potong." "Bagaimana bunyinya?" desak Rasulullah SAW. Istri
yang setia itu menjawab, "Suami saya mengatakan "Andaikata lebih jauh
lagi・ndaikata yang masih baru・.andaikata semuanya・" hanya itulah
yang tertangkap sehingga kami bingung dibuatnya. Apakah
perkataan-perkataan itu igauan dalam keadaan tidak sadar, ataukah
pesan-pesan yang tidak selesai?" Rasulullah SAW tersenyum "sungguh
yang diucapkan suamimu itu tidak keliru".

Kisahnya begini. Pada suatu hari ia sedang bergegas akan ke masjid
untuk melaksanakan shalat Jum'at. Ditengah jalan ia berjumpa dengan
orang buta yang bertujuan sama. Si buta itu tersaruk-saruk karena
tidak ada yang menuntun. Maka suamimu yang membimbingnya hingga tiba
di masjid. Tatkala hendak menghembuskan nafas penghabisan, ia
menyaksikan pahala amal sholehnya itu, lalu iapun berkata "Andaikan
lebih jauh lagi". Maksudnya, andaikata jalan ke masjid itu lebih jauh
lagi, pasti pahalanya lebih besar pula.

Ucapan lainnya ya Rasulullah SAW?" tanya sang istri mulai tertarik.
Nabi menjawab, "Adapun ucapannya yang kedua dikatakannya tatkala, ia
melihat hasil perbuatannya yang lain. Sebab pada hari berikutnya,
waktu ia pergi ke masjid pagi-pagi, sedangkan cuaca dingin sekali, di
tepi jalan ia melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk menggigil,
kedinginan. Kebetulan suamimu membawa sebuah mantel baru, selain yang
dipakainya. Maka ia mencopot mantelnya yang lama, diberikannya kepada
lelaki tersebut. Dan mantelnya yang baru lalu dikenakannya. Menjelang
saat-saat terakhirnya, suamimu melihat balasan amal kebajikannya itu
sehingga ia pun menyesal dan berkata, "Andaikata yang masih baru
kuberikan kepadanya dan bukan mantelku yang lama, pasti pahalaku jauh
lebih besar lagi". Itulah yang dikatakan suamimu selengkapnya.

Kemudian, ucapannya yang ketiga, apa maksudnya, ya Rasulullah SAW?"
tanya sang istri makin ingin tahu. Dengan sabar Nabi menjelaskan,
"Ingatkah kamu pada suatu ketika suamimu datang dalam keadaan sangat
lapar dan meminta disediakan makanan? Engkau menghidangkan sepotong
roti yang telah dicampur dengan daging. Namun, tatkala hendak
dimakannya, tiba-tiba seorang musafir mengetuk pintu dan meminta
makanan. Suamimu lantas membagi rotinya menjadi dua potong, yang
sebelah diberikan kepada musafir itu. Dengan demikian, pada waktu
suamimu akan menghembuskan nafasnya, ia menyaksikan betapa besarnya
pahala dari amalannya itu. Karenanya, ia pun menyesal dan berkata
'kalau aku tahu begini hasilnya, musafir itu tidak hanya kuberi
separoh. Sebab andaikata semuanya kuberikan kepadanya, sudah pasti
ganjaranku akan berlipat ganda.

Begitulah keadilan Tuhan. Pada hakekatnya, apabila kita berbuat baik,
sebetulnya kita juga yang beruntung, bukan orang lain. Lantaran segala
tindak-tanduk kita tidak lepas dari penilaian Allah. Sama halnya jika
kita berbuat buruk. Akibatnya juga menimpa kita sendiri. "Kalau kamu
berbuat baik, sebetulnya kamu berbuat baik untuk dirimu. Dan jika kamu
berbuat buruk, berarti kamu telah berbuat buruk atas dirimu pula."
(QS.Al Isra': 7)

Tidak ada komentar: