13 Maret 2008

Menikmati Kehancuran

You have five minutes to wallow in the delicious misery. Enjoy it? embrace it? discard it? and... proceed. (Claire Colburn, Elizabethtown (2005)
Kegagalan itu biasa, konon. Dalam hidup bisa saja seseorang mengalami kegagalan berulang kali, dan juga berhasil bangkit berulang kali. Di sini saya tak hendak membicarakan tentang kegagalan, tapi sesuatu yang sedikit lebih besar dari itu.

Mengutip Drew Baylor (tokoh yang diperankan Orlando Bloom dalam film Elizabethtown), ada perbedaan antara kegagalan (failure) dan kehancuran (fiasco). Kegagalan adalah sesuatu yang bisa dicapai oleh siapa saja, bahkan orang bodoh sekalipun.

Sedang kehancuran, adalah bencana dalam porsi besar, semacam legenda, yang turun temurun akan diceritakan kembali, dan orang yang mendengarnya akan merasa sangat beruntung dalam hidup karena mereka tidak mengalami hal yang sama. Kehancuran hanya bisa dicapai oleh orang yang sudah pernah benar-benar berada di puncak sukses.

Dalam film ini, Baylor, setelah selama delapan tahun, siang dan malam, bekerja keras merancang model sepatu untuk sebuah perusahaan raksasa, memperoleh kenyataan bahwa rancangannya gagal total. Hingga ia telah menyebabkan perusahaan merugi sampai hampir Satu Miliar Dollar. Dollar lho ya, bukan Rupiah. Sebesar itulah perusahaan yang mempekerjakan pemuda yang tadinya dianggap brilyan itu, mempercayakan investasi mereka. Maka segera setelahnya, nama Drew Baylor tertulis dalam majalah bisnis terkenal yang beredar luas, sebagai ikon kehancuran.

Itulah yang dialami Baylor hingga dia merasa perlu bunuh diri.

Saya punya cerita sendiri mengenai apa yang dapat terjadi kepada seseorang yang jatuh ke kehancuran. Suatu hari saat saya sedang duduk di bangku belakang sebuah metromini jurusan Ragunan-Blok M, naiklah seorang laki-laki umur 30-an. Sosoknya sejak awal sudah menarik perhatian saya. Betapa tidak, karena seperkiraan saya, kemeja, celana, dan sepatunya adalah setelan termahal yang dipakai orang dari seluruh penghuni metromini. Belum lagi dia kemudian mengeluarkan gadget-gadget canggih sejenis PDA, dan hand phone model terakhir. Bicaranya di telepon dalam bahasa Inggris yang fasih pula.

Saya meliriknya berkali-kali dari balik buku yang saya baca. Bertanya-tanya dalam hati, mengapa orang se-parlente dia bersedia bergelantungan dan berdesakan di metromini seperti ini. Maaf kalau saya salah, tapi biasanya orang seperti dia akan memilih naik taksi, kalau tak punya mobil sendiri.

Jadi pasti dia punya alasan, yang saat itu ingin sekali saya ketahui.

Laki-laki itu, setelah selesai dengan pembicaraan teleponnya yang menyebut kata-kata Hongkong, big fish, dan win the tender, mulai menyadari kehadiran saya.

"Buku apa itu?" sapanya tiba-tiba dengan riang.

"Oh," saya sok kaget. "Ini bukunya Mochtar Lubis. Catatan Subversif. Ini... buku hariannya selama bertahun-tahun di penjara waktu rezim Soekarno."

"Wah, perjuangan yang berat ya. Dia kan pemimpin redaksi koran besar dan penulis terkenal."

"Oh iya, itu dia," saya mengangguk setuju.

"Saya tahu bagaimana rasanya," kata laki-laki itu.

Saya menaikkan alis.

"Jatuh. Dari ketinggian. Dan merangkak untuk bisa bangkit lagi," katanya, dan mulailah misteri `Mr. Gadget dalam Metromini' terkuak.

Saya tak yakin apakah ceritanya relevan dengan apa yang dialami Mochtar Lubis, tapi bagaimanapun, barangkali sama menariknya.

"Saya pernah, selama berbulan-bulan, mengalami insomnia akut. Saya bisa tidak tidur selama berhari-hari, sampai saya harus berobat karena sakit tulang dan banyak penyakit lain."

Saya memandangnya dengan simpati. Apa sebab? Tanya saya dalam tatapan.

"Itu karena suatu hari, beberapa tahun yang lalu, saya ditipu orang. Bisnis saya rugi habis-habisan. Semua kekayaan saya ludes. Sampai semua saya jual. Rumah, mobil, elektronik, baju-baju, semuanya. Sampai istri saya nggak tahan dan pulang ke Singapore, ke rumah orang tuanya. Saya ditinggal sendiri bersama anak-anak saya yang masih sekolah. Sedangkan kolega dan teman-teman saya, bukannya membantu. Mereka menoleh pun tidak. Di situ saya mengerti apa artinya teman."

Saya menyimak cerita itu baik-baik. Meski terlalu mirip sinetron.

"Setiap malam saya memikirkan apa yang bisa kami makan besok, dari mana saya dapat duit buat makan dan sekolah anak-anak saya. Sedih sekali rasanya waktu saya bahkan nggak bisa beliin anak-anak itu makanan di McD. Saya cuma mampu beliin mereka es krim cone! Waktu itu saya cuma punya uang tujuh puluh ribu, dan itu pun hanya cukup untuk ongkos taksi kami bertiga."

Saya mengerjap-ngerjapkan mata. Untuk orang yang tadinya kaya raya, uang tujuh puluh ribu mungkin rasanya senilai tujuh ratus rupiah bagi orang miskin.

"Nah, itu lihat! Itu dulu mobil saya!" serunya tiba-tiba sambil menunjuk ke arah sebuah mobil Mercy warna metalic yang terparkir di depan sebuah rumah mewah di kawasan Kemang. Laki-laki itu pun terus memandangi bekas mobilnya dari balik metromini sampai akhirnya kendaraan ini melaju jauh.

"Haha, itu dulu mobil saya," dia nyengir, dan saya hanya tersenyum miris.
"Saya jual ke teman saya, dan teman saya menjual lagi ke orang yang punya rumah tadi. Pernah dulu, waktu saya baru saja menjual itu mobil, saya mau mengajak anak-anak saya jalan-jalan. Saya ajak mereka menunggu bus di pinggir jalan besar. Trus tiba-tiba, teman saya yang membeli mobil itu lewat, dan melambaikan tangan. Anak-anak saya teriak, `Pa, itu kan mobil kita!'"

Laki-laki itu tampak tercekat dalam melankoli. Ia menunduk sejenak, dengan satu tangan berpegangan pada tiang metromini, dan tangan lain menjinjing tas semi koper.

"Mobil mewah kami lewat di saat saya mengajak anak-anak itu berpanas-panas menunggu bus umum!"

Duh, tragisnya. Dan ehm, mantan mobil, ralat saya dalam hati.

"Kalau nggak ingat punya anak-anak yang masih kecil, mungkin saya sudah bunuh diri. Tapi untungnya saya nggak jadi melakukannya. Saya terus berusaha hidup. Saya hubungi orang-orang yang bisa saya ajak kerja sama. Itu sulit sekali. Ya, betul-betul sulit, karena orang biasanya nggak mau ambil resiko bekerja sama dengan orang yang baru saja pailit. Seperti saya waktu itu."

"Tapi sekarang...," dia tersenyum dan melebarkan kedua tangannya. Lalu karena metromini ngerem mendadak, satu tangannya kembali menggelantung di tiang. "Sekarang saya sudah bisa menikmati hidup saya kembali. Punya kontrakan rumah, HP, walopun boleh kredit, tapi lumayan untuk performance," dia membuat saya nyengir. "Memang saya nggak sesukses dulu, tapi setidaknya saya merasakan kebahagiaan hidup. Kebahagiaan itu karena saya bersyukur atas apa yang saya alami, dan apa yang saya punya. Badan sehat, anak-anak sehat, kami bisa makan setiap hari, itu yang saya syukuri. Saya bisa begitu sejak saya mulai mendekatkan diri kepada Tuhan."

Metromini ngerem mendadak lagi, tapi laki-laki itu tak peduli, ia tetap bersemangat. "Dan ternyata Tuhan memang adil. Tadi, baru saja waktu naik metromini ini, saya terima telepon dari Korea. Saya menang tender besar. Haha, saya menang tender yang nilainya milyaran. Bayangkan!"

Oh, saya ikut senang.

Sampai tak terasa kami sudah sampai tujuan, Blok M. Ketika tiba waktu kami berpisah, dia menjabat tangan saya, berkata dengan senyum lebar, "Sampai jumpa lagi ya. Ingat, jangan menyerah!" dan Mr. Gadget pun menghilang di keramaian.

Jangan menyerah, katanya. Saya juga sering gagal. Tapi memang belum pernah sampai fiasco. Tapi semoga, kalau suatu saat saya mengalaminya, saya akan ingat tiga kata ini: die another day.
Oleh Rina Nazrina

Tidak ada komentar: